Merekaadalah beberapa tokoh separatis Belanda seperti Westerling yang tidak menginginkan Indonesia merdeka sepenuhnya dari Belanda, maupun tokoh-tokoh federalis yang tidak ingin Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Selain itu, adanya ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pusat, khususnya dalam masalah politik, ekonomi, dan militer.
[ad_1] Jakarta, NU Online Pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid Gus Dur telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dasar hukum itu disebut juga sebagai UU Otonomi Khusus Otsus. Kini UU Otsus sudah hampir dua puluh tahun berjalan, tapi di Bumi Cendrawasih itu masih saja muncul suara-suara tuntutan ketidakpuasan. Padahal sudah ada UU Otsus yang seharusnya, secara konsep, mampu mengatur hidup dan kehidupan rakyat Papua. Penulis buku Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka Ahmad Suaedy menjawab, karena pemerintah hanya melakukan tiga dari delapan unsur penting yang terdapat di dalam UU Otsus itu. Tiga unsur yang sudah dilakukan pemerintah itu pun masih sangat jauh dari kenyataan. Pertama, soal dana Otsus. Menurut Suaedy persoalan ini sangat rumit diselesaikan. Sebab terjadi banyak korupsi, penyelewengan, dan penindasan. Dengan kata lain, wajar saja jika rakyat Papua kerap menyuarakan ketidakpuasan terhadap UU Otsus. Penyebabnya adalah karena terjadi pemangkasan dana dari pemerintah sendiri. Kedua, Majelis Rakyat Papua MRP. Secara konsep, kata Suaedy, MRP ini sangat bagus karena mewadahi tradisi Papua yang cenderung informal dalam pergaulan sosial-politik. Di MRP, terdapat ketua adat yang mewadahai para pemimpin yakni utusan adat, utusan agama, dan utusan perempuan. “Di sinilah Papua sebenarnya jauh lebih maju dari daerah mana pun. Karena tidak ada sebuah lembaga yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai unsur utama dari tiga unsur utama itu. Papua justru menjadi pelopor dalam hal ini,” ungkap Suaedy dalam Ziarah Pemikiran Gus Dur dan Papua pada Sabtu 12/12 lalu. Hanya saja, lanjutnya, pada periode kedua berjalannya UU Otsus, terjadi proses Litsus sebuah ungkapan sebuah penyaringan pada zaman orde baru. Di periode pertama, kata Suaedy, rekrutmen berjalan sangat baik karena masyarakat dibebaskan untuk bergabung dengan MRP. “Tapi periode kedua dan ketiga, ada semacam Litsus. Jadi orang yang masih menawar dan mengritisi pemerintah itu tidak bisa masuk. Padahal MRP ini didesain untuk memperdebatkan sesuatu yang belum selesai. Misalnya di dalam UU 21 itu ada tentang klarifikasi sejarah,” jelasnya. “Bagi persepsi semua orang pemimpin negara sekarang ini, klarifikasi sejarah itu seolah identik dengan tuntutan merdeka,” sambung Suaedy. Namun bagi Gus Dur, tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan damai. Soal klarifikasi sejarah yang terdapat di dalam salah satu pasal di UU Otsu situ, menurut Gus Dur, pasti akan bisa diselesaikan. Gus Dur beranggapan bahwa soal sejarah itu pasti akan bisa diselesaikan dengan kompromi. Sedangkan di dalam konflik, pasti terdapat jarak perbedaan pendapat 180 derajat. Misalnya aktivis Papua ingin merdeka, tapi pemerintah Indonesia ingin bersatu. Itulah 180 derajat. “Dalam proses dialog, semakin lama akan semakin menipis. Lalu menjadi nol derajat. Itulah yang seharusnya terjadi pada UU Otsus itu. UU Otsus berangkat dari perbedaan pendapat 180 derajat,” ungkap Anggota Ombudsman RI ini. “Tapi satu tahun kemudian, November 1999 hingga November 2000 terjadi proses kebebasan berpendapat yang sangat luar biasa. Saya melakukan penelitian bahwa tidak ada kekerasan pada saat itu. karena ada kebebasan. Jadi semua orang bisa bicara apa saja,” imbuhnya. Menurut Gus Dur, orang ingin merdeka dan mendiskusikan tentang kemerdekaan tidak bisa dilarang. Gus Dur memperbolehkan orang Papua untuk berfikir dan berdiskusi. Sebab yang tidak boleh adalah menyatakan kemerdekaan. “Maka dalam satu tahun itu, orang sangat bebas. Tapi tidak ada satu pun kelompok yang mendeklarasikan kemerdekaan. Karena dialog terus terjadi,” tutur Suaedy. Jadi, jika saat ini ada suara dari rakyat Papua yang tidak butuh pembangunan maka itu adalah suara keras. Namun kata Suaedy, kalimat yang lebih tepatnya adalah Papua tidak cukup dengan pembangunan tetapi harus ada martabat kemanusiaan untuk orang Papua. Ketiga, soal hukum adat. Di dalam UU Otsus, persoalan hukum ada sudah sangat jelas diatur. Menurut Suaedy, aturan soal hukum adat di Papua sebenarnya sama dengan syariat Islam di Aceh. “Syariat Islam di Aceh dibiayai dengan besar. Ada strukturnya, hakim dan UU-nya. Tapi kenapa di Papua tidak demikian? Ini kan masalah besar,” ucap Suaedy. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dibentuk tujuh wilayah adat di Papua. Namun Suaedy mengaku pernah datang ke beberapa wilayah adat tersebut dan tidak menemukan ada fasilitas apa pun. “Seharusnya kan mereka di Papua misalnya ada kantor, gaji, hakim, struktur birokrasi. Sebagaimana syariat Islam di Aceh. Tapi kenapa di Papua tidak begitu?” pungkas Suaedy, mempertanyakan. Pewarta Aru Lego Triono Editor Fathoni Ahmad [ad_2] Source link
Dampakketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah timbulnya disintegrasi bangsa. Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu yang menghilangnya keutuhan, atau persatuan serta menyebabkan perpecahan. Disintegrasi bangsa adalah memudarnya kesatupaduan antargolongan dan kelompok yang ada dalam suatu bangsa yang bersangkutan.
Dampak Garis haluan Kedaulatan Daerah Intern Membangun Afinitas Sosial Sesuai Mandu Negara Kesatuan Republik Indonesia Oleh Bakarbessy Abstrak Pelaksanaan kebijakan Kebebasan Wilayah di Negara Kesatuan ditandainya dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan daerah memiliki hak lakukan dapat mengelola pemerintahannya sendiri dan secara mandiri. Disini tugas pemerintah yaitu laksana pengontrol pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut. Sementara itu, cak semau pola ataupun fenomena yang terlatih internal membangun afinitas sosial di era otonomi daerah, yaitu, Keterikatan sosial nan terbangun didasarkan pada skor-skor etnosentrisme- primordialisme. Kata Kunci Kemandirian Kawasan, Afinitas Sosial, NKRI A. Permukaan Birit. Hubungan antara pokok dan daerah merupakan sesuatu nan banyak dibicarakan, karena masalah tersebut internal prakteknya sering menimbulkan tarik menarik keefektifan antara kedua ketengan rezim tersebut Huda, 20091. Masyarakat daerah nan kecewa terhadap manajemen pemerintahan sentralistik memaksudkan kewenangan yang lebih luas untuk dapat mengeset dan mengurusi kondominium panjang pemerintahannya sendiri, tanpa interferensi operasional pemerintah resep. Sumaryadi, 2005114-115. Sementara itu, tersapu dengan mandu negara kesatuan, maka upaya pemerintah pusat buat selalu memegang lagam atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas. Situasi ini menciptakan menjadikan hubungan pemerintah sentral dan provinsi mencakup isu yang sangat luas, baik isu kerakyatan kebangsaan dan demokrasi lokal, maupun terkait dengan isu antara negara dan masyarakat.Huda, 20091 Selain itu dalam pelaksanaan kemandirian di era reformasi muncul perkembangan primordialisme. Konsep ini sebenarnya enggak saja salah kaprah tetapi pun merupakan sebuah pemikiran yang sempit adalah narrow minded, situasi ini disebabkan karena kamil asal kemerdekaan kawasan yaitu persaksian terhadap diversitas dan pluralisme. Semata-mata ternyata disalahgunakan dengan berbagai alasan sehingga memunculkan atma primordialisme yang mendasarkan diri puas angka-nilai seperti mana halnya etnosentris. Primordialisme merupakan sebuah kecenderungan negatif yang bisa dinetralisir dengan menyediakan perabot sistem nan abadi dan demokratis yang tidak memungkinkan tumbuhnya nilai-ponten nan sempit itu. Otonomi distrik menerima adanya perbedaan kaki, agama, ras dan golongan n domestik koridor diversity, semata-mata tidak mentolerir tumbuhnya biji-skor etnosentris atau sikap sempit lainnya nan jelas melanggar prinsip pangkal independensi merupakan pengakuan atas demokrasi dan pluralism Djohan, 2002. Bagi itulah tidak mengherankan bahwa tidak terbatas para penjunjung kredit-poin diversitas dan pluralisme, justru memanfaatkan fenomena keanekaragaman dan pluralisme secara tidak bermoral dan tebal hati untuk menggalang kekuatan primordial lakukan faedah politik, primordialisme dan golongan saban, yang akan berbuah juga cak bagi tetap melanggengkan korupsi,konspirasi dan nepotisme serta meperlebar ketimpangan kohesi sosial masyarakat. B. Rumusan Penyakit. Beralaskan uraian yang sudah lalu dikemukakan dalam latar birit, maka rumusan masalah ialah 1. Dampak-dampak apakah yang ditimbulkan oleh implementasi ketatanegaraan otonomi area? 2. Bagaimana membangun kohesi sosial di era otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia? C. Tujuan Dan Kepentingan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara mahajana, bahwa riset ini bertujuan lakukan mengkaji pelaksanaan politik otonomi daerah privat proses penyelenggaraan pemerintah. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini lagi diharapkan akan mengasihkan manfaat yaitu riuk satunya sebagai masukan bakal perumus dan praktisi kebijakan dalam permukaan pemerintahan dalam merumuskan dan mematok berbagai kebijakan intern manajemen publik, serta sebagai mangsa evaluasi untuk produsen sistem pemerintahan di Indonesia. D. Metode Penelitian. Pendalaman ini akan merupakan sebuah amatan dari aspek syariat pecah plural dampak penerapan garis haluan otonomi provinsi kerumahtanggaan membangun kohesi sosial sesuai dengan kaidah Negara Wahdah Republik Indonesia, dengan cara menentukan korelasi antara suatu konsep dengan konsep yang lain, antara satu teori dengan teori yang lain, atau antara satu konsep ataupun teori dengan berbagai persoalan yang berlaku di n domestik masyarakat. Pendalaman ini adalah pernah antara penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan yakni data sekunder yang diperoleh dengan prinsip pengkhususan pustaka acuan yaitu data sekunder dan Alat pendalaman buat memperoleh data sekunder diperoleh melalui studi dokumen. Selain itu, data primer pula diperlukan melewati eksplorasi tanah lapang. Alat eksplorasi yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah pedoman wawanrembuk dan kuesioner. Pendekatan yang digunakan intern pengkhususan ini yaitu deskriptif analisis. Deskriptif karena hasil penekanan ini diharapkan kaya memberikan gambaran secara sistematik, terperinci dan menyeluruh mengenai penerapan politik-kebijakan otonomi daerah yang mengasihkan dampak di dalam masyarakat. Lebih jauh akan dilakukan analisis guna menjawab beberapa permasalahan nan sudah dirumuskan. E. Hasil Riset dan Pembahasan 1. Penyelenggaraan Kebijakan Kemandirian Kewedanan di NKRI Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 nan menyatakan bahwa Negara indonesia adalah Negara Keekaan yang berbentuk republik. Suratan konstitusional ini memasrahkan pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan plong rontok 17 Agustus 1945 dibangun kerumahtanggaan sebuah buram negara yang berbentuk kesatuan unitary, dan bukan berbentuk federasi persekutuan dagang. Dengan demikian, adanya daerah nan mempunyai kewenangan kerjakan menata dan mengurus rumah tangganya koteng otonomi daerah, haruslah diletakkan dalam lis pemahaman negara nan berbentuk kesatuan bukan berbentuk federasi, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas. Otonomi merupakan hak untuk mengatak dan mengurusi rumah tangga secara sendiri tanpa adanya campur tangan alias intervensi pihak tidak. Kemerdekaan didalam prakteknya dipengaruhi oleh rajah dari satu negara. Intern konteks indonesia otonomi daerah di berikan makanya pemerintah pusat central Goverment, dan pemerintah daerah tetapi memufakati penyerahan berpokok pemerintah resep. Sumaryadi, 2005 61-62. Lubis menyatakan bahwa di dalam suatu negara kesatuan terwalak asas bahwa sepenuh urusan negara tak dibagi antara pemerintah anak kunci sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan negara dalam negara wahdah tunak merupakan kebulatan dan pemegang kekuasaan di negara itu adalah pemerintah pokok dalam Kaho, 20056. Hal ini oleh Amrusyi dirumuskan sebagai negara kesatuan dengan sistim pemfokusan dalam Huda 200928 Lebih lanjut Kaho 20056 menyatakan bahwa dalam negara ahadiat yang didesentralisasikan, pemerintah pusat ki ajek memiliki milik bagi mengawasi daerah-distrik otonom, yaitu provinsi yang berkuasa dan bertanggung jawab cak bagi mengatur dan menggapil rumah tangganya sendiri. Oleh Amrusyi, hal tersebut dikategorikan sebagai negara kesatuan dengan sitim desentralisasi. privat Huda 200928 Pelaksanaan desentralisasi akan membawa efektivitas dalam pemerintahan, sebab kawasan negara pada umumnya terdiri bersumber berbagai satuan daerah bagian dari wilayah negara yang masing-masing akan n kepunyaan sifat-aturan khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor-faktor geografis peristiwa tanah, iklim, dunia tumbuhan, fauna, pagar adat, kehidupan ekonomi, tingkat pendidikan dsb. Kaho, 200510 Dengan demikian pemerintahan akan efektif jika sesuai dan cocok dengan keadaan riil privat negara. Lebih lanjut Gadjong, menyatakan bahwa desentralisasi mengandung dua unsur sentral, ialah pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum pecah pemerintah gerendel ke pemerintah distrik untuk mengatak dan mengurusi dan atau bagian bersumber urusan tadbir tertentu 200776. Terkait dengan pembentukan daerah swatantra, maka hal tersebut didatur dalam UUD 1945 pasal 18. pada ayat 1 disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-area kawasan dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang sendirisendiri provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan bahwa Pemerintah wilayah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan ikutikutan sendiri urusan rezim menurut asas otonomi dan tugas pembantuan Berpokok rumusan pasal 18 ayat 1 dan 2 tersebut, boleh disimpulkan bahwa penyelenggaraan rezim negeri diatur dengan undang-undang n domestik birai sistim pemerintahan Negara Ketunggalan Republik Indonesia. Dimana pemerintah daerah daerah dan kabupaten/ kota diberi hak bagi mengurus dan mengatur sendiri urusan apartemen tangganya menurut asas otonomi. Sehingga akan melahirkan hubungan wewenang dan pengawasan. Peristiwa ini bisa dilihat dalam Pasal 18 A ayat 1 UUD 1945, nan menyatakan bahwa Perhubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan ii kabupaten, ataupun antar kawasan dan kabupaten kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan daerah. Sementara itu, terkait dengan konsep Negara Kesatuan, maka pendirian persatuan terlampau dibutuhkan karena adanya kebinekaan suku bangsa, agama, dan budaya. Variabilitas itu merupakan aset yang harus dipersatukan united, sahaja tidak boleh disatukan atau diseragamkan uniformed. 2. Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Sutoro Eko menyatakan bahwa secara teoritis desentralisasi dan kemerdekaan daerah di harapakan boleh mempromosikan demokrasi lokal, membawa negara lebih dekat plong masyarakat, menghargai identitas tempatan yang beragam, memperbaiki layanan publik dan seterusnya. cuma banyak tantangan dan penyakit yang menyertainya, diantaranya ialah bangkitnya identitas domestik yang disertai dengan menguaknya isu putera daerah kerumahtanggaan memandu daerah, dan dipahami secara sempit minus melihat kualifikasi dan integritasnya 2005416. Situasi ini akan berdampak pada tadbir wilayah yang bukan akuntabel dan responsif. Dimana, otonomi area diterjemahkan seumpama etnosentrisme, sukuisme, daerahisme, atau sukma yang mementingkan tungkai, kewedanan, maupun golongan kita sendiri. Akibatnya ialah muncul sikap individualis, tidak peduli terhadap orang atau kaki , golongan, agama lain, terlebih pemerintah tingkat atas. a Menguatnya Umur Etnosentrisme, Kekerabatan dan Persahabatan Etnosentrisme secara terbelakang yaitu sikap nan lebih mementingkan kesukuan. Makin unik ialah merupakan fenomena terhadap sikap yang lebih menekankan kelompok tertentu. Dimana, kata kerumunan bisa merujuk pada suku, agama, golongan, ras, bahkan area tertentu Badjuri, 2007228. Hasil pengkajian memperlihatkan kecendrungan yang dibangun di dalam pelaksanaan pemerintahan khususnya dalam proses perekrutan dan penempatan sida-sida lebih menonjolkan satu pergaulan maupun hubungan-persaudaraan individual. Diantaranya adalah konsep suku yang selaras maupun daerah yang sama. Hal ini mulai terpandang pecah proses pencalonan kepala daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Dimana, pada lokasi-lokasi penyelidikan para calon pembesar kawasan didominasi oleh para anak daerah. Sementara itu, terkait dengan komposisi bos maupun pegawai di lokasi-lokasi pendalaman menunjukan suatu fenomena bak berikut Pertama, pada daerah-daerah otonom yang baru Kabupaten MBD, Kejar Selatan dan Kota Tual kekuasaan etnosntrisme terhadap komposisi pejabat alias pegawainya tidak plus menonjol sehingga komposisi komandan maupun personel dilingkungan pemerintahan puas daerah kabupaten/kota yang baru dimekarkan boleh dikatakan seimbang diantara anak asuh provinsi dengan yang enggak anak wilayah. Hal ini disebabkan karena kebutuhan SDM dari daerah-daerah otonom yang baru tersebut sehingga ketatanegaraan awal didalam pengangkatan pejabat atau pegawainya adalah lakukan menepati kebutuhan satu-satunya. Kedua, privat perkembangannya setelah kebutuhan SDM mutakadim memenuhi kebutuhan didalam menjalankan pemerintahan pada daerah-daerah otonom yang baru, maka hembusan etnosentrisme antara kaki mulai terasa, dimana kebijakan-kebijakan pemerintaha daerah terutama didalam proses pengangkatan pejabat maupun pegawai pemerintahan mulai terasa. Hal ini bisa terlihat dari politik Pemda Merembah Fragmen Timur SBT yang lebih memprioritaskan anak daerah didalam perekrutan tenaga kerja khususnya Guru dilingkungan Pemda SBT. Ketiga, gejala yang muncul tersapu dengan jalan etnosentrisme didalam tata otonomi negeri adalah perkawanan atau kedekatan-kekariban tertentu. Bersendikan hasil penelitian, maka gejala ini yaitu pendobrak perkembangan etnosentrisme antar suku yang gelesot ke etnosentrisme antara kelompok kaki yang kian boncel. dimana, pertemanan atau kedekatan tersebut terbangun pecah proses pemilihan penasihat distrik. Apabila seorang terseleksi menjadi kepala daerah, maka sebagai konsekuensinya ia akan menaruh khalayak-orang yang berjasa baginya didalam proses pemilihan pengarah kawasan didalam pemerintahan. Akibatnya adalah, bagi tara politiknya, pasti akan tersingkir dari jabatannya tanpa terserah kejelasan. Bagi pejabat yang baru karena imbalan politik belum karuan profesional dibidangnya. Hal ini terjadi, puas kabupaten SBT, MTB. Situasi ini adv amat menonjol terjadi di Kabupaten Meleleh Bagian Timur SBT, dimana setelah terpilih lagi menjadi pembesar daerah periode yang kedua, kepala daerah menginjak melakukan kebijakan terhadap jabatan-jabatan nan diisi oleh PNS nan terindikasi berasal dari daerah tertentu belaka. Alhasil adalah garis haluan pemutasian pejabat di kabupaten SBT dengan alasan rotasi jabatan, saja hanya ditujukan bagi pejabat nan berasal berusul daerah tertentu Harian Ambon Ekspres, Tgl 10 November 2010. Salah satu indeks lainya yang dapat dijadikan sumber akar terhadap asumsi bahwa adanya persahabatan-persahabatan istimewa dalam pengelolaan pemerintahan di Kabupaten SBT yakni sikap kepala kawasan terhadap pejabat pemerintahan tertentu, merupakan terkait dengan sistem evaluasi alias penilaian yang dilakukan terhadap prestasi pejabat. Dimana, ada pejabat tertentu yang tak wasilah suka-suka di daerah kabupaten n domestik menjalankan fungsinya bak komandan pemerintahan akan tetapi sebaliknya ia sering keluar kewedanan cak bagi melaksanakan kepentingan pribadinya. Situasi ini tentunya sangat berdampak tehadap fungsi pelayanannya terhadap masyarakat yang secara langsung enggak melanglang dengan baik ataupun lain maksimal Radar Ambon, kamis 14-10-2010. Terhadap kebobrokan ini, penasihat distrik tidak pernah melakukan evaluasi terhadap pejabat yang bersangkutan. Sebaliknya majikan nan berkepentingan loyal dipertahankan sebagai pengarah momen kepala daerah memasuki masa kepemimpinan nan kedua. Berdasarkan praktek-praktek yang berkembang tersebut, menyebabkan pelaksanaan Otonomi hanya dilihat sebagai ajang atau kesempatan kerja atau kesempatan promosi cak bagi orang-orang atau anak-anak asuh kawasan saja atau yang punya hubungan-jalinan tertentu doang dengan para pengambil garis haluan di kewedanan. Dimana, kesempatan itu tak bisa diambil orang asing biarpun berlimpah kerumahtanggaan satu wilayah provinsi. Permasalahan yang muncul kemudian adalah ke manakah semua basyar Ambon akan bekerja selepas menyelesaikan pendidikannya. Sebab, kabupaten lain di wilayah daerah Maluku, kemungkinan besar tak akan menerimanya. 3. Membangun Kohesi Sosial Sesuai Pendirian NKRI Kohesi sosial kadang kala didefenisikan perumpamaan perekat yang mengesakan masyarakat membangun keselarasan dan roh kemasyarakatan, serta komitmen untuk mencecah pamrih-intensi bersama . Diasumsikan bahwa kohesi sosial merupakan syarat pangkal bakal sebuah awam . Bangsa Indonesia yang memiliki penduduk yang terlampau heterogen dan plural, teks pluralisme dan multikulturalisme sebenarnya suntuk penting. Malah, agar cita-cita pendiri negara ini untuk membangun negara nan terdiri dari berbagai tungkai, bangsa dan agama menjadi kenyataan. Banyak pihak dulu mengangankan dampak substansial pecah meluasnya referensi itu, karena seandainya keadaan itu boleh terwujud, maka cita-cita indah pembina negara ini akan betul-betul terwujud pula. Dan, dampak kian jauh dari keadaan itu adalah terciptanya bangsa Indonesia yang lain lagi tersekat-tersekat oleh persoalan kaki, aturan, ras, dan agama SARA Mahmudi Asyari, Dengan demikian, pluralisme dan multikulturalisme yakni potensi umpama lem, sekaligus dasar bagi bangsa Indonesia kerumahtanggaan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukannya dijadikan alat untuk ubah mencelakakan. Oleh sebab itu, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah enggak hanya memposisikan daerah dan masyarakat menjadi pelaku mewujudkan kesejahteraan sosial dengan melaksanakan politik masyarakat menerobos pelayanan prima, penegakan aturan hukum dan pemberdayaan umum. Peladenan publik harus terjangkau, tepat kebutuhan dan sasaran serta berlangsung efisien–efektif cepat, dengan mencamkan paralelisme dan perbedaan nan ada didalam awam. Dengan demikian, prinsip pandang terhadap Otonomi adalah, semestinya kebebasan daerah makin dimaknai andai heteronomi dengan semangat multikulturalisme. Terkait dengan peristiwa tersebut, maka hubungan-perhubungan sosial yang terbina didalam masyarakat Indonesia yang pluralis, sebaiknya atau idealnya dibangun atas kesadaran kemajemukan dan didasarkan lega aspek keadilan. Menurut seorang Pegawai Kabupaten Uber Kidul, kerumahtanggaan membangun gabungan sosial di masyarakat khususnya di intern rezim harus memperlihatkan aspek keadilan, pemerataan dan keanekaragaman dalam pengelolaan otonomi daerah. Kejadian ini tertentang lega faktor keharmonisan dalam kepakaran dan memadai atau bukan bagi sendiri aparatur pemerintahan bakal memperoleh jabatan tertentu, sehingga seorang aparatur pemerintahan bisa menduduki posisi tertentu bukan semata-alat penglihatan karena pertimbangan ia yakni momongan daerah, belaka karena sira layak maka itu keahliannya. Malah sekali lagi pelayanan publik yang diberikan maka itu aparatur pemerintahan tidak boleh pandang bulu/ pilah-memilah-milah. Hal ini lagi terlihat bahwa sendiri bawahan dan atasan n kepunyaan hubungan yang baik, bukan karena berasal dari meres belakang daerah nan sama tetapi karena performa komandan dan bawahan yang profesional. Dengan demikian, hakekat wasilah sosial yang diharapkan terbangun di era kemandirian distrik ialah terbangunnya koalisi yang harmonis dengan mengamini kemajemukan yang dilandasi maka dari itu aspek keseimbangan. keadilan adalah “memberikan kepada setiap orang sesuai dengan haknya tanpa menyibuk latar pantat suku, kewedanan, agama, maupun keluarga maupun teman. Selain itu, konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum yakni semua kebijakan pemerintah harus beralaskan sreg syariat. Salah suatu ciri negara syariat adalah asas legalitas. Dimana, melalui asas kesahihan segala sesuatu tindakan yang dilakukan pemerintah terdaftar didalamnya tata tadbir maupun privat proses pembentukan hukum harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pelecok suatu ciri negara hukum lainnya yaitu, konservasi terhadap milik-kepunyaan dasar warga negara, dan hal tersebut merupakan korban perlindungan hukum mulai sejak pemerintah. Dengan demikian, dalam proses pengangkatan dan penelaahan pemimpin dan aparatur pemerintahan di area sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan menyerahkan hak yang selevel lakukan setiap warga negara, maka keadaan ini akan mengabaikan nilai-ponten etnosentrisme sempit, dan memasrahkan pengaruh terhadap profesionalisme dari pegiat dan pembentuk rezim privat pelayanan publik. Sebaliknya, terabaikannya unsur profesionalisme dalam menjalankan tugas dan guna organisasi pemerintahan akan berdampak kepada menurunnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan peladenan awam. Selain itu, penguatan DPRD secara Kelembagaan atau kemustajaban harus ditingkatkan didalam proses pengangkatan pejabat pemerintah maupun didalam proses penelaahan pegawai, disertai dengan penerapaan asas transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah daerah. Alternatif Solusi a. Pemeriksaan dari DPRD n domestik proses pengangkatan maupun pemberhentian Pejabat Struktural b. Integrated system dalam proses seleksi fungsionaris Skema diatas menunjukan bahwa, proses pengajian pengkajian PNS diawali oleh pemilahan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi. Hasil pemilihan kemudian dievaluasi oleh susuk independent, bentuk independent yang dimaksudkan ialah lembaga pendidikan tinggi. Dimana didalam proses evaluasi tersebut mendapat pengawasan secara ketat oleh pemerintah kawasan sebagai pelaksana, DPRD laksana legislator, LSM dan media konglomerasi sebagai perabot kontrol dari masyarakat diluar lembaga pemerintahan. Sehabis adanya keputusan bersama dari pemda, DPRD, LSM dan media massa, maka hasil evaluasi yang dilakukan oleh lembaga independent tersebut dapat diumumkan. Sebaliknya, takdirnya belum ada tenang dan tenteram bersama maka hasil evaluasi seleksi PNS belum dapat diumumkan. Beralaskan model ini, diharapkan proses pendedahan PNS dapat putih berasal berjenis-jenis fungsi dari para pemegang supremsi di daerah F. Intiha 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, boleh disimpulkan bahwa a. Pelaksanaan garis haluan Otonomi Negeri terjadi, ditandainya adanya pelimpahan wewenang pecah pemerintah sentral kepada pemerintah daerah. Peristiwa ini menyebabkan provinsi memiliki kepunyaan untuk dapat mengelola pemerintahannya sendiri dan secara mandiri. Disini tugas pemerintah yakni sebagai pengawas pelaksanaan garis haluan otonomi daerah tersebut. Dampak dari pelaksanaan ketatanegaraan otonomi kewedanan; 1. Dampak Merusak a. Menguatnya kekuasaan yang dimiliki maka itu Kepala Daerah b. Menguatnya nilai-nilai etnosentrisme dan persahabatan secara sempit c. Kohesi sosial yang terbangun didasarkan pada angka-angka etnosentrisme 2 Dampak Berupa a. Terjadi pelimpahan wewenang berpunca pusat ke area, sehingga pemerintahan di daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan sesuai kebutuhan awam dan sesuai dengan aspirasi yang berkembang. b. Terbukanya peluang kerja cak bagi anak-anak daerah. b. Pergaulan sosial yang idealnya terbengun di era otonomi daerah adalah suatu kekeluargaan sosial yang menerimakan syahadat terhadap diversitas berlandaskan mandu persatuan, yang dilandasi oleh semangat keadilan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. DAFTAR PUSTAKA Taktik Amrusyi, dalam Huda, Ni’ Matul, 2009, Hukum Pemerintahan Wilayah, Nusa Media, Bandung Eko, Sutoro, 2005, Pelajaran Desentralisasi dan Kerakyatan Tempatan, dalam Jamil Gunawan, dkk penyunting Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Domestik, LP3ES, Jakarta Gadjong, Agussalim Andi, 2007, Pemerintahan Distrik Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia Huda, Ni’Matul, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung , 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Jogjakarta Kaho, Josef Riwu, 2005, Prospek Otonomi Wilayah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Jakarta Solly Lubis kerumahtanggaan Kaho, Josef Riwu, 2005, Prospek Kedaulatan Distrik di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Jakarta Sumaryadi, I Nyoman, 2005, Efektivitas Implementasi Kebijakan Independensi Daerah, Citra Terdahulu, Jakarta Internet dan Koran/Majalah Mahmudi Asyari, Harian AMEKS Ambon Ekspress, terlepas 10 November 2010 Harian Radar Ambon, Terlepas 14 November 2010 Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No 21 Musim 1999 akan halnya Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.
PengaruhAkuntabilitas terhadap Tingkat Korupsi Berdasarkan pengujian yang dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa akuntabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat korupsi pada pemerintah daerah.Hasil ini tidak mendukung penelitian Setiawan (2012) yang menyatakan bahwa akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah
aKpNEO. 8bs7clykrw.pages.dev/2718bs7clykrw.pages.dev/3458bs7clykrw.pages.dev/608bs7clykrw.pages.dev/1708bs7clykrw.pages.dev/1408bs7clykrw.pages.dev/2128bs7clykrw.pages.dev/4888bs7clykrw.pages.dev/448
dampak ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah